Dr. I Putu Andre Suhardiana Jadi Keynote Speaker dalam E-SAPARI Bahas Literasi Digital di Era AI
DENPASAR, 25 Oktober 2025 - UKM Penalaran dan Riset Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar sukses menyelenggarakan E-SAPARI (Seminar Seri Penalaran dan Riset XVIII) secara daring melalui platform Zoom pada Sabtu (25/10/2025). Kegiatan yang mengusung tema ‘Riset Literasi Media di Era Digital’ ini menghadirkan Dr. I Putu Andre Suhardiana, S.Pd., M.Pd., dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Dharma Acarya UHN IGB Sugriwa Denpasar, sebagai narasumber sekaligus keynote speaker dengan materi ‘Dialektika Humanisme dan Teknologi dalam Konstelasi Etika Bermedia di Era AI’.
Dalam pemaparannya, narasumber membuka dengan analogi menarik bahwa dunia digital yang diwarnai AI bagaikan kota metropolitan baru tanpa rambu lintas, dimana AI adalah mobil self-driving yang melaju kencang, sementara literasi digital dan etika bermedia menjadi rambu-rambu yang mencegah kekacauan. Beliau menekankan terjadinya pergeseran paradigma dari kompetensi operasional menuju kompetensi kritis dan etis, dimana tantangan generasi muda sekarang bukan sekadar cara menggunakan teknologi, tapi bagaimana menjadi ‘pengendara bijak’ di era digital dengan kemampuan ‘membaca’ algoritma. Narasumber menjelaskan bahwa era digital ‘lama’ yang linear, dimana informasi dibuat dan disebarkan manusia ke manusia, telah berganti dengan era digital ‘AI’ yang hybrid dan kompleks, dimana AI mampu menciptakan konten primer seperti artikel berita palsu, deepfake, atau video manipulasi yang disebarkan melalui kombinasi algoritma media sosial dan pengguna manusia yang tidak kritis, sehingga menimbulkan dua masalah utama berupa pengaburan batas asli-palsu dan kebingungan identitas manusia-mesin.
Merespons kondisi ini, narasumber memperkenalkan konsep ‘Critical Thinking 2.0’ yang terdiri dari tiga pilar utama, pertama adalah verifikasi asal-usul konten dengan selalu mempertanyakan apakah informasi berasal dari manusia atau mesin, termasuk demonstrasi penggunaan alat pendeteksi AI dan reverse image search; kedua adalah membongkar bias AI dengan memahami bahwa AI bukan entitas netral karena belajar dari data manusia yang penuh prasangka, seperti sistem rekrutmen AI yang bisa bias gender akibat data historis tidak seimbang; dan ketiga adalah mengenali halusinasi AI dimana AI bisa memberikan kutipan dan data statistik fiktif dengan meyakinkan, sehingga perlu selalu melakukan cross-check dengan sumber independen, terutama untuk tugas akademik. Di samping keterampilan kognitif, narasumber menekankan fondasi etika dengan prinsip ‘Do No Harm’, menegaskan bahwa AI adalah alat netral dimana pengguna yang menentukan apakah ia membangun atau merusak, dengan dua prinsip etika utama berupa kewajiban menandai konten AI sebagai bentuk transparansi dan menolak penipuan serta misrepresentasi seperti deepfake.
Narasumber juga menyoroti dilema filosofis tentang keaslian (authenticity) di era AI, mempertanyakan makna menjadi ‘asli’ ketika AI mampu menulis puisi atau membuat gambar, serta apakah manusia harus mengorbankan jiwa dan pengalamannya hanya untuk mengejar efisiensi. Solusi yang ditawarkan adalah memposisikan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti, dengan menggunakan AI untuk brainstorming, meringkas, atau inspirasi, sementara analisis akhir, empati, dan kreativitas manusiawi tetap menjadi penentu karya. Untuk membangun ketahanan kolektif, narasumber menyerukan kolaborasi multisektor dimana institusi pendidikan harus mengintegrasikan kurikulum literasi media dan AI, komunitas masyarakat perlu menggalakkan kampanye seperti #CekSebelumShare, sementara pemerintah dituntut menyiapkan payung hukum seperti watermarking konten AI, larangan deepfake berbahaya, dan perlindungan data privasi.
Di akhir pemaparan, narasumber menutup dengan pesan mengajak bertindak mengenai dua skenario masa depan dimana AI bisa menjadi ‘Pelayan yang Baik’ yang mempermudah hidup atau ‘Tuan yang Buruk’ yang mengendalikan dan memecah belah, dengan pilihan sepenuhnya berada di tangan manusia. Beliau mendorong mahasiswa untuk menjadi lebih kritis dalam menerima informasi, lebih jujur dalam membuat dan menyebar konten, serta lebih bertanggung jawab dalam interaksi digital, dimulai dari hal kecil seperti verifikasi sebelum membagikan dan menjadi duta literasi digital di lingkaran pertemanan, sehingga bersama-sama dapat membangun ekosistem digital yang tidak hanya cerdas tetapi juga beretika dan berperikemanusiaan. Seminar yang berlangsung interaktif ini diharapkan menjadi pemantik lahirnya agen-agen perubahan yang siap memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa kehilangan jati diri kemanusiaan, dengan antusiasme peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan kritis yang diajukan dalam sesi diskusi, menandakan kesadaran akan pentingnya literasi digital di kalangan mahasiswa.